88: Dalil Wafatnya Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam (Bagian 2)
Kemudian Abu Bakar membacakan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قَالَ اللَّهُ تعالى
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ وَمَن يَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيۡٔٗاۗ وَسَيَجۡزِي ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ
(Qs. Ali Imran: 144)
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ
Dan tidaklah Muhammad kecuali dia adalah seorang Rasul.
قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ
Telah berlalu sebelumnya para Rasul yang lain.
Bukankah kita meyakini bahwasanya Musa telah meninggal dunia?
Bukankah kita meyakini bahwasanya Ibrahim telah meninggal dunia?
Bukankah kita meyakini bahwasanya Shaleh, Hud, telah meninggal dunia?
Muhammad shallallahu alayhi wa sallam ini adalah Rasul seperti telah berlalu sebelum Beliau para Rasul dan semuanya meninggal dunia, kecuali Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam. Allah kehendaki Beliau untuk hidup dan akan diturunkan di akhir zaman.
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ
أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ
Apakah seandainya Beliau shallallahu alayhi wa sallam meninggal dunia atau Beliau shallallahu alayhi wa sallam terbunuh kemudian kalian kembali mundur, kembali murtad?
Kita menyembah kepada Allah subhanahu wa ta’ala bukan menyembah kepada Muhammad shallallahu alayhi wa sallam. Beliau shallallahu alayhi wa sallam meninggal seperti meninggalnya Rasul-Rasul sebelumnya. Jadi seandainya Beliau meninggal dunia maka ini tidak sampai mengguncangkan keimanan seseorang, sampai menghilangkan keimanan seseorang, tapi dia beriman.
Beliau shallallahu alayhi wa sallam adalah Rasul seperti Rasul-rasul yang lain, yang meninggal dunia.
Maka Ibnu Abbas menceritakan,
وَاللَّهِ لَكَأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ هَذِهِ الآيَةَ حَتَّى تَلاَهَا أَبُو بَكْرٍ، فَتَلَقَّاهَا مِنْهُ النَّاسُ كُلُّهُمْ، فَمَا أَسْمَعُ بَشَرًا مِنَ النَّاسِ إِلَّا يَتْلُوهَا
Demi Allah subhanahu wa ta’ala, kata Abdullah Ibnu Abbas, sepertinya manusia saat itu tidak mengetahui bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ini sampai dibaca oleh Abu Bakar As-Siddiq.
Padahal mereka sudah mendengarnya.
Cuma, kematian Nabi bukan kematian yang biasa. Mereka sangat cinta kepada Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam, mereka merasa hidup mereka menjadi terang benderang. Madinah ini menjadi terang benderang dengan kehadiran Beliau shallallahu alayhi wa sallam.
Ketika meninggal dunia maka mereka ditimpa oleh rasa sedih yang luar biasa sampai mungkin ayat-yang sebenarnya mereka sudah baca sebelumnya, ketika Abu Bakar As-Siddiq membaca di hadapan mereka seakan-akan mereka baru mendengarnya pertama kali.
Maka disebutkan di sini bahwasanya manusia saat itu kemudian mereka membaca ayat tadi, meyakinkan pada dirinya bahwasanya Muhammad shallallahu alayhi wa sallam ini adalah yang sangat dia cintai, yang sangat dia rindukan, dan sangat bersyukur kepada Beliau shallallahu alayhi wa sallam dengan sebab Beliau shallallahu alayhi wa sallam mereka mendapatkan hidayah.
Beliau shallallahu alayhi wa sallam adalah manusia seperti yang lain pasti akan meninggal dunia dan akan berpisah.
- Ini menunjukkan yang pertama tentang keutamaan Abu Bakar As-Siddiq.
Allah subhanahu wa ta’ala berikan beliau ketenangan plus ketegasan. Kalau memang ini adalah haq, maka beliau tidak takut untuk menyampaikan itu kepada manusia meskipun di depan orang seperti Umar. Beliau punya ketegasan.
- Kemudian diantara faidah yang bisa kita ambil di sini, tentang ilmu beliau.
Jadi banyak saat itu perkara-perkara yang diperselisihkan oleh manusia bisa diselesaikan dengan baik oleh Abu Bakar As-Siddiq, dengan ilmu yang beliau miliki, ini salah satu diantaranya.
Ketika manusia berselisih pendapat tentang perkara yang besar, yaitu siapa yang menjadi khalifah setelah Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam, berkumpul Muhajirin dan Anshar sampai diantara mereka ada yang mengatakan ‘minna amirun wa minkum amir’ kita punya Amir kalian juga punya Amir.
Jadi orang-orang Muhajirin mengangkat Amir dan orang-orang Anshar juga mengangkat Amir.
Perkara yang besar yaitu berselisih tentang siapa yang berhak untuk menjadi khalifah setelah Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam. Yang memecahkan adalah Abu Bakar. Beliau mengatakan kepada manusia bahwasanya beliau mendengar dari Nabi shallallahu alayhi wa sallam
اْلأَءِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ
Para imam itu adalah dari Quraisy.
Para pemimpin, para khulafa’ adalah dari Quraisy. Bukan karena beliau ingin mengangkat beliau sebagai Imam, sebagai khalifah, beliau menyampaikan apa yang didengar dari Nabi shallallahu alayhi wa sallam.
Nabi shallallahu alayhi wa sallam mengatakan ‘An-Naas, taba’un li Quraisy, muslimuhum li muslimihim wa kafiruhum li kafirihim’.
Manusia, ini mengikuti orang-orang Quraisy, maksudnya adalah di dalam masalah kepemimpinan.
Orang-orang Islam maka mereka menjadikan orang-orang Quraisy sebagai pemimpin mereka, khalifah mereka adalah orang-orang Quraisy. Selama di sana masih ada orang Quraisy yang dia berhak untuk menjadi seorang pemimpin maka dia harus didahulukan daripada yang lain.
Seandainya tersisa dua orang, satunya orang Quraisy dan satunya bukan orang Quraisy, dan yang orang Quraisy sini dia punya sifat-sifat yang dengannya dia berhak menjadi seorang pemimpin maka kita harus mendahulukan orang Quraisy. Karena Nabi shallallahu alayhi wa sallam menganjurkan dan mengatakan bahwa imam-imam itu adalah dari Quraisy.
Jadi mereka adalah pemimpin termasuk ketika di zaman Jahiliyah orang-orang Quraisy ini sudah menjadi yang dikedepankan, yang didahulukan,
makanya Nabi shallallahu alayhi wa sallam mengatakan ‘muslimuhum li muslimihim wa kafiruhum li kafirihim’, mereka memang semenjak zaman jahiliyah sudah diutamakan dan sudah dikedepankan.
Ketika mereka Islam pun Allah subhanahu wa ta’ala masih memuliakan mereka, menjadikan mereka sebagai orang-orang yang lebih berhak menjadi khalifah.
Makanya setelah Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam, semuanya dari Quraisy. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hasan, Muawiyah, Yazid dan seterusnya, baik dari Bani Abbas maupun dari Bani Umayyah dua-duanya adalah dari Quraisy.